MAKALAH
ASURANSI DAN KABILAH ARAB
Dosen Pengampu : Ambok Pangiuk, S. Ag. M.Si.
Mata Kuliah : Hukum Asuransi Islam
![]() |
Di susun oleh: Kelompok 11 (Sebelas)
Indah Suhardini (SM 100095)
Abdul Mu’is (SM 100086)
Semester: V (Lima)
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN MUAMALAT
IAIN SULTHAN
THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2011/2012
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
Dengan segala
kerendahan hati, izinkan penulis memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada
Allah SWT yang senantiasa membukakan pikiran dan hati untuk terus berjuang
dalam menegakakan agama-Nya serta makalah yang membahas tentang “Asuransi dan
Kabilah Arab” dapat penulis selesaikan. Shalawat serta salam tak pernah putus
kita sampaikan kepada pimpinan sekaligus guru peradaban dunia Nabi Muhammad SAW
yang banyak memberikan keteladanan dalam berfikir dan bertindak.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak dan rekan-rekan yang membantu
penulis dalam memberikan masukan dan pendapat terhadap makalah ini.Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,
kepada para pembaca dan para pakar di mohon saran dan kritikan yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah dan guna meningkatkan kualitas dari makalah
ini.
Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat dan bangsa.
Wasssalamu’alaikum Warohmatullah Wabarakatuh.
Jambi, Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. 2
DAFTAR ISI................................................................................................ 3
DAFTAR ISI................................................................................................ 3
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.................................................. 4
BAB II : PEMBAHASAN
ASURANSI
DAN KABILAH ARAB
A.
Sejarah
Asuransi pada Kabilah Arab............................... 5
B.
Sifat
Asuransi pada Kabilah Arab.................................... 10
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan............................................................................ 13
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Asuransi, pada
awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan
beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan. “secara ringkas
dan umumnya, konsep asuransi adalah persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang
yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai suatu yang tidak dapat di
duga. Apabila Kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi
anggota perkumpulan itu akan ditanggung bersama oleh mereka.
Tujuan Asuransi
adalah untuk mengadakan persiapan dalam menghadapi kemungkinan kesulitan yang
dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, seperti dalam kehidupan perdagangan.
Sebernya bahaya kerugian itulah yang menyebabkan orang untuk mendapatkan cara
yang aman untuk melindungi diri dan kepentingan mereka. Ide tentang asuransi
berkaitan erat dengan kelompok dengan pengertian, kelompok manusia menjadi
pangkal pokok asuransi, tetapi hal itu belum memberika penjelasan, kapan
asuransi itu dimulai dan kelompok manakah yang mengembangkannya. Dr. Mohammad
Muslehuddin mengatakan untuk mengetahui sejarah asuransi ini, maka kita harus
meneliti dahulu sejarah peradaban manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
ASURANSI DAN KABILAH ARAB
A.
Sejarah
Asuransi pada Kabilah Arab
Pada tahap
permulaan peradaban, manusia primitif hidup mengembara untuk berburu binatang
untuk dijadikan makanan dan sering kelaparan karena kehabisan makanan.[1]
Kemudian timbul satu tahap yang mana mereka menduduki kawasan dataran,
mengusahakan pertanian dan menyimpan makanan untuk bekal di musim hujan. Ini belum
dapat disebut peradaban manusia sampai mereka telah menduduki “suatu kawasan
dengan menjalankan usaha pertanian dan mempunyai hak milik secara undang-undang
serta sebuah kota dan kubu.” [2]
Kata tamadun
(peradaban atau kebudayaan) berasal dari bahasa Arab Madinah (kota), oleh
karena itu kehidupan kota adalah sine quo non (sesuatu yang harus) dari
suatu peradaban atau kebudayaan manusia. Menurut Ibnu Khaldun salah seorang ahli filsafat dan sejarah,
bahwa kehendak manusia terhadap makanan telah memberi rangsangan yang mendorong
manusia membangun peradaban yang merupakan tahap tertinggi dari perkembangan
masyarakat. Manusia sebagaimana yang
diterankan oleh para ahli filsafat adalah makhluk sosial, sebab itu mereka tidak
dapat hidup sendiri seperti makhluk lain.[3]
Perkembangan
masyarakat dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu berburu, bertani, dan
berbudaya yang hal itu disesuaikan dengan kebiasaan anggota masyarakatnya yang
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tahap berburu bergantung penuh pada upaya
mengumpulkan makanan dan berburu; tahap bertani merupakan tahap yang lebih maju
dalam menyediakan makanan, yakni dengan cara bertani di ladang dan berternak
hewan; tahap berbudaya adalah tahap lanjutan kemajuan pembangunan pertanian
jauh kedepan yaitu dari mengumpulkan bahan makanan kepada penggunaan kelebihan
pengeluaran untuk mendapatkan pengabdian bagi orang lain. Kelompok masyarakat
dan wilayah pada saat ini (kota) bukan lagi berdasarkan pertalian kekeluargaan
dan berlaianan jika dibandingkan xengan kehidupan di kampung yang pergaulan
penduduknya akrab. Mungkin kehidupan berkelompok dalam proses kebudayaan
berawal di antara tahap berburu dan bertani.[4]
Dalam organisasi
sosial, keluarga memegang peranan yang utama, dan perkembangan membentuk
cabang-cabang satu keleompok atau suku-suku, kemudian mereka akan menganggap
bahwa mereka itu berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.[5]
Ralph Turner berkata:
“Hampir
semua orang primitif yang sezaman adalah bersatu di bawah satu keturunan atau
kelompok kekeluargaan yaitu ada yang berupa (1) klan, yang bercirikan
hubungan keturunan seseorang itu menurut pihak perempuan, ibu, atau (2) gens,
yang bercirikan hubungan keturunan seseorang itu menurut pihak laki-laki,
bapak. Oleh karena itu, anggota keturunan klan atau gens adalah
dipercayai berketurunan dari nenek moyang yang sama dan selalu dihubungkan
dengan binatang atau burung, yaitu totem, sebagai tanda adanya pertalian
keturunan, tetapi pertalian keturunan yang lebih sesuai dengan itu lebih
merupakan sebagai dongeng dari pada kedudukan yang sebenarnya.”[6]
Sejarah permulaan
peradaban adalah sejarah ribuan tahn sebelum Masehi. Para ahli sejarah
menempatkan Mesir dan Mesopotamia (sekarang Irak) adalah pusat peradaban tertua
dan kawasan itu mula-mula ditempati manusia karena letaknya di Lembah Sungai
Nil, Efrat, dan Tigris yang subur. Disitulah manusia berhenti dan
berpindah-pindah dan secara tidak sadar mendiaminya (menetap) dan meninggalkan
kebiasaan hidup nonmadennya. Ini berarti bahwa tanahnya sangat menarik minat dan
kelompok totemik sangat mudah menukar keadaannya menjadi teritorial jika
mereka menduduki suatu kawasan. Kehidupan berkelompok hilang dalam arus
gelombang organisasi teritorial. Summer Maine menjelaskan keadaan ini
dalam history of Ancients Institutions, “dari kumpulan itu suatu bangsa
menetap di kawasan dan wilayah yang ditempatinya, maka berawallah bumi dan
tanah menggantikan kekeluargaan sebagai asas menjadi organisasi sosial.”
Menurut Durkheim, “ kedua bentuk organisasi ini, totemik dan teritorial
saling bertentangan, salah satunya akan mundur apabila yang satunya lagi
mendapat tempat, tetapi semakin lama keduanya dapat dipadukan sebagai dua
tingkat perkembangan kemajuan sosial.”[7]
Mungkin karena
perallihan yang cepat dari organisasi totemik kepada organisasi teritorial,
sulit untuk mendapatkan perkembangan asuransi di antara mereka di sekitar awal
peradaban, dan boleh jadi mereka tidak membentuknya sebab sewajarnyalah bagi
masyarakat hidup berkelompk secara nomadik.[8]
Menurut pengamatan
Muslehuddin di dalam bukunya Menggugat Asuransi Modern mengatakan
kelompok-kelompok nomadik dari sejarah awal, di mana asuransi seharusnya sudah
mulai berakar, ia mendapati gurun pasir antara Mesir dan Mesopotamia sebagai
tempat masyarakat pengembara tinggal terpencar-pencar dan hidup sezaman dengan
orang-orang dari lembah-lembah yang subur. “ Sementara kelompok yang terakhir
ini menetap di lembah-lembah subur, penduduk pengambara bangsa Arab berkembang
di gurun-gurun pasir Arabia.” Berbeda dengan orang lembah yang lemah dan rapuh,
orang Arab berwatak berani, kekar dan suka berperang serta gemar berpetualangan
dan penjarahan dalam bentuk serangan-serangan yang bersama sebab-sebab lainnya,
membantu membentuk mereka menjadi kelompok-kelompok.[9]
Arabia, tempat
mereka tinggal adalah sebuah wilayah gurun pasir luas yanng dikelilingi oleh
laut di tiga sisinya. Ia merupakan sebuah celah luas yang berada di antara dua
negeri tertua dalam peradaban manusia Mesopatamia dan Mesir. Karena secara
geografis terisolasi, maka sedikit sekali terjadi penerobosan ke dalam wilayah
tersebut, meskipun kerajaan-kerajaan besar berada di sekelilling perbatasannya.
Wilayah cakupannya lebih dari sejuta mil persegi lebih dari delapan kali luas
kepulauan Britania dan separuh luas Amerika Serikat, ditengah-tengahnya
terdapat dataran tinggi yang dikelilingi oleh gurun pasir.[10]
Orang arab adalah
golongan bangsa semitik dan mereka menggap keturunan mereka berasal dari Sam,
yaitu salah seorang anak Nabi Nuh as. Mereka itu adalah sezaman dengan
orang-orang yang mulah-mulah mengalami peradaban di Lembah Sungai Nil, Efrat
dan Tigris. Kawasan pedalaman Semenanjung Arab diduduki oleh suku Badui, yang
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari rumput dan
air untuk ternak mereka. Kehidupan yang penuh tantangan dan kewajiban
menyediakan kebutuhan mendorong orang Badui menjadi kuat dan cekatan. Mustahil
orang dapat menetap di padang pasir yang tidak mempunyai kehidupan, lagi pula
mereka di pimpin oleh ketua yang berani menghadapi bahaya hidup yang
berpindah-pindah itu. Ini menyebabkan kaum Badui berpecah menjadi kelompok
keluarga. Keluarga itu berkembang menjadi gabungan suku bangsa dengan dasar,
“perpaduan keturunan dan berjamaah untuk kepentingan bersama”.[11]
Saling menyerang
seperti yang disinggung diatas merupakan ciri yang penting dalam kehidupan
orang Badui. “ Merampas unta dan anak-istri suku kaum lain dianggap lebih baik
dari pada melakukan permusuhan dan pertumpahan darah yang paling tidak dapat
mereka hindari terjadinya permusuhan yang merupakan impian hidup orang Badui. Wanita dan anak-anak
dijadikan barang tebusan dan harta rampasan dibagi-bagikan menurut ketentuan
yang telah ditetapkan. Syekh yang menjaga kehormatan suku yang mempunyai
kedudukan yang penting dalam hal ini, menerima bagian yang banyak. Sebaliknya
jika terjadi suatu kerugian, kerugian itu harus ditanggung oleh semua penghuni
tenda yang dirampok itu, dan Syekh akan selalu memberi sumbangan yang banyak.
Sebaliknya, apabila mereka tertawan mereka menghadapi malapetaka yang besar
seandainya mereka tidak membayar uang tebusan darah atau terus menentang dengan
pertumpahan darah. Jika hal ini tidak dapat dilakukan sampai berhasil, seluruh
kaum itu akan mengalami kehancuran.[12]
Gambaran di atas
adalah gambaran cara hidup orang Arab yang sebenarnya. Kehidupan yang keras
dipadang pasir bercampur dengan sikap suka berperang yang timbul dari merampas,
dan pertumpahan darah membuka jalan untuk bersatu dikalangan anggota kelompok
yang membentuk suatu cara pemikiran mereka dalam menghadapi gelombang hidup,
yang meresap dalam setiap pemikiran individu. Ini merupakan suatu perpaduan
yang utama yang menjadikan setiap kelompok bertindak sebagai suatu unik sosial.
Unit sosial itu bukan saja memikirkan kerugian individu, malahan mencoba mengambil
langkah-langkah untuk menampung kerugian itu yaitu melalui Asuransi.[13]
B.
Sifat
Asuransi pada Kabilah Arab
Asuransi adalah
untuk memenuhi bayaran uang tebusan darah oleh kelompoknya supaya dapat
meringankan beban yang ditanggung oleh anggota unit itu. Ini seakan-akan
membentuk suatu adat.[14]
Hal ini dapat
dijelaskan yaitu dari kata Arab ma’aqil, jamak dari ma’qulah,
berarti denda darah. Kata ini berasal dari kata ‘aql, yang digunakan
dalam berbagai macam arti. Nampaknya, semula kata ini digunakan dalam arti
mengikatkan kaki-kaki (seekor unta) yang terlibat paha-pahanya, kemudian
dipergunakan dalam arti tebusan karena mempunyai kekuatan mengikat atas ‘aqilah
(orang yang harus membayarnya).[15]
Praktek
doktrin dari al-Aqilah di antara suku-suku
Arab kuno sebagai kebiasaan suku: Encyclopaedia of Islami yang
membenarkan fakta bahwa sifat praktik asuransi telah berasal dari praktek Arab
kuno, dimana itu menjadi kebiasaan di antara suku-suku
Arab yang jika ada anggota suku yang dibunuh oleh anggota suku yang berbeda,
ahli waris korban akan dibayar dengan sejumlah uang darah sebagai kompensasi
dengan kerabat dekat si pembunuh. Mereka kerabat dekat si pembunuh itu
ditujukan sebagai 'aqilah di Arab terminologi ,
yang seharusnya untuk membayar uang darah , atas nama
pembunuh. Menurut Dr Muhammad Muhsin Khan, kata 'aqilah' berarti 'asaba'
yang menunjukkan kerabat ayah si pembunuh, oleh karena itu, ide sentral dari
doktrin 'aqila' dipraktekkan di antara Trines Arab kuno seperti semua
orang di suku-suku yang digunakan untuk menjadi siap untuk membuat kontribusi
moneter atas nama pembunuh untuk mengkompensasi pewaris korban. Kontribusi moneter tersebut dikenal sebagai uang darah.
Kesiapan orang Arab kuno pada waktu itu untuk membayar kompensasi tampaknya
menjadi semacam perlindungan finansial untuk pewaris almarhum melawan kematian
tak terduga korban.[16]
Kebiasaan lama yang dipraktekkan
oleh orang Arab yakni membayar uang darah sudah berlangsung selama ribuan
tahun. Kelompok yang disatukan berdasarkan ikatan darah harus menyelamatkan
para anggotanya dalam bentuk kebersamaan (mutualitas) dan menanamkan kebiasaan
saling berbagi beban kerugian bersama.[17]
Hal ini berarti pembayaran dilakukan
oleh seluruh anggota kelompok itu untuk
anggotanya atau anggota-anggotanya yang melakukan kejahatan. Bayaran diat
(denda) adalah sebagai contoh asuransi bersama sebagai suatu usaha masyarakat
yang bersifat sosial tetapi mempunyai implikasi ekonomi.[18]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kehidupan yang keras dipadang pasir bercampur dengan sikap suka
berperang yang timbul dari merampas, dan pertumpahan darah membuka jalan untuk
bersatu dikalangan anggota kelompok yang membentuk suatu cara pemikiran mereka
dalam menghadapi gelombang hidup, yang meresap dalam setiap pemikiran individu.
Ini merupakan suatu perpaduan yang utama yang menjadikan setiap kelompok
bertindak sebagai suatu unik sosial. Unit sosial itu bukan saja memikirkan
kerugian individu, malahan mencoba mengambil langkah-langkah untuk menampung
kerugian itu yaitu melalui Asuransi.
Asuransi adalah
untuk memenuhi bayaran uang tebusan darah oleh kelompoknya supaya dapat
meringankan beban yang ditanggung oleh anggota unit itu. Ini akan membentuk
suatu adat.
DAFTAR
PUSTAKA
Muslehuddin,
Mohammad. 1997. Asuransi dalam Islam. Alih Bahasa: Wardana Jakarta: Bumi Aksara.
-------------------------------.
1999. Menggugat Asuransi Modern. Jakarta: PT Lentera Basritama.
Prakoso, Budi
dan I Ketut Murtika. 2004. Hukum Asuransi Islam. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Sudarsono,
Heri. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonesia.
Rahman,
Afzalur. 2003. Doktrin Ekonomi Islam Jilid IV. Yogyakarta: PT Dana Bakti
Wakaf.
Turner. 1988. The
Great Cultural Traditions. Alih Bahasa: Azlan Khalili Shamsuddin. Kuala
Lumpur: Dewan Pustaka Fajar.
Sumber:
[1] Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid IV, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, hlm. 29.
[2] Mohammad
Muslehuddin, Asuransi dalam Islam, Alih Bahasa: Wardana, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 6.
[3] Ibid.
[4] Djoko Prakoso
dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta,
April 2004, hlm. 50.
[5] Ibid.
[6] Turner, The
Great Cultural Traditions, Alih Bahasa: Azlan Khalili
Shamsuddin, Kuala Lumpur: Dewan Pustaka Fajar, 1988, hlm. 79.
[8] Ibid.
[9] Mohammad
Muslehuddin, Menggugat Asuransi Modern, Jakarta: PT Lentera Basritama,
1999, hlm. 11.
[10] Ibid.
[11] Mohammad Muslehuddin, Asuransi..., hlm. 9.
[12] Ibid.
[13] Ibid.,
hlm. 10.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16]Lihat,http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.takaful.coop/doc_store/takaful/Develop.%2520of%2520takful.doc. Akses 7 Oktober 2012, Pukul. 05:53.
[17]Lihat,http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.takaful.coop/doc_store/takaful/Develop.%2520of%2520takful.doc. Akses 7
Oktober 2012, Pukul. 05:53.
[18] Djoko Prakoso
dan I Ketut Murtika, Hukum..., hlm. 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar