Naruto

Naruto

Rabu, 13 Maret 2013

Asuransi dan Kabilah Arab


MAKALAH
ASURANSI DAN KABILAH ARAB

Dosen Pengampu : Ambok Pangiuk, S. Ag. M.Si.
Mata Kuliah : Hukum Asuransi Islam




 










Di susun oleh: Kelompok 11 (Sebelas)
Indah  Suhardini (SM 100095)
Abdul Mu’is (SM 100086)
Semester: V (Lima)



FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAT
IAIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2011/2012
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
            Dengan segala kerendahan hati, izinkan penulis memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT yang senantiasa membukakan pikiran dan hati untuk terus berjuang dalam menegakakan agama-Nya serta makalah yang membahas tentang “Asuransi dan Kabilah Arab” dapat penulis selesaikan. Shalawat serta salam tak pernah putus kita sampaikan kepada pimpinan sekaligus guru peradaban dunia Nabi Muhammad SAW yang banyak memberikan keteladanan dalam berfikir dan bertindak.
            Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak dan rekan-rekan yang membantu penulis dalam memberikan masukan dan pendapat terhadap makalah ini.Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
            Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kepada para pembaca dan para pakar di mohon saran dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah dan guna meningkatkan kualitas dari makalah ini.
            Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat dan bangsa.
Wasssalamu’alaikum Warohmatullah Wabarakatuh.

Jambi,   Oktober 2012


Penulis




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.................................................................................     2
DAFTAR ISI................................................................................................    3

BAB I      :      PENDAHULUAN
                        A. Latar Belakang Masalah..................................................     4

BAB II    :      PEMBAHASAN
                        ASURANSI DAN KABILAH ARAB
A.    Sejarah Asuransi pada Kabilah Arab...............................    5
B.     Sifat Asuransi pada Kabilah Arab....................................   10

                 

BAB III   :      PENUTUP
                        Kesimpulan............................................................................    13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................    14











BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Asuransi, pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan. “secara ringkas dan umumnya, konsep asuransi adalah persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai suatu yang tidak dapat di duga. Apabila Kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan itu akan ditanggung bersama oleh mereka.
            Tujuan Asuransi adalah untuk mengadakan persiapan dalam menghadapi kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, seperti dalam kehidupan perdagangan. Sebernya bahaya kerugian itulah yang menyebabkan orang untuk mendapatkan cara yang aman untuk melindungi diri dan kepentingan mereka. Ide tentang asuransi berkaitan erat dengan kelompok dengan pengertian, kelompok manusia menjadi pangkal pokok asuransi, tetapi hal itu belum memberika penjelasan, kapan asuransi itu dimulai dan kelompok manakah yang mengembangkannya. Dr. Mohammad Muslehuddin mengatakan untuk mengetahui sejarah asuransi ini, maka kita harus meneliti dahulu sejarah peradaban manusia.



BAB II
PEMBAHASAN
ASURANSI DAN KABILAH ARAB

A.    Sejarah Asuransi pada Kabilah Arab
            Pada tahap permulaan peradaban, manusia primitif hidup mengembara untuk berburu binatang untuk dijadikan makanan dan sering kelaparan karena kehabisan makanan.[1] Kemudian timbul satu tahap yang mana mereka menduduki kawasan dataran, mengusahakan pertanian dan menyimpan makanan untuk bekal di musim hujan. Ini belum dapat disebut peradaban manusia sampai mereka telah menduduki “suatu kawasan dengan menjalankan usaha pertanian dan mempunyai hak milik secara undang-undang serta sebuah kota dan kubu.” [2]
            Kata tamadun (peradaban atau kebudayaan) berasal dari bahasa Arab Madinah (kota), oleh karena itu kehidupan kota adalah sine quo non (sesuatu yang harus) dari suatu peradaban atau kebudayaan manusia. Menurut Ibnu Khaldun  salah seorang ahli filsafat dan sejarah, bahwa kehendak manusia terhadap makanan telah memberi rangsangan yang mendorong manusia membangun peradaban yang merupakan tahap tertinggi dari perkembangan masyarakat.  Manusia sebagaimana yang diterankan oleh para ahli filsafat adalah makhluk sosial, sebab itu mereka tidak dapat hidup sendiri seperti makhluk lain.[3]
            Perkembangan masyarakat dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu berburu, bertani, dan berbudaya yang hal itu disesuaikan dengan kebiasaan anggota masyarakatnya yang memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tahap berburu bergantung penuh pada upaya mengumpulkan makanan dan berburu; tahap bertani merupakan tahap yang lebih maju dalam menyediakan makanan, yakni dengan cara bertani di ladang dan berternak hewan; tahap berbudaya adalah tahap lanjutan kemajuan pembangunan pertanian jauh kedepan yaitu dari mengumpulkan bahan makanan kepada penggunaan kelebihan pengeluaran untuk mendapatkan pengabdian bagi orang lain. Kelompok masyarakat dan wilayah pada saat ini (kota) bukan lagi berdasarkan pertalian kekeluargaan dan berlaianan jika dibandingkan xengan kehidupan di kampung yang pergaulan penduduknya akrab. Mungkin kehidupan berkelompok dalam proses kebudayaan berawal di antara tahap berburu dan bertani.[4]
            Dalam organisasi sosial, keluarga memegang peranan yang utama, dan perkembangan membentuk cabang-cabang satu keleompok atau suku-suku, kemudian mereka akan menganggap bahwa mereka itu berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.[5] Ralph Turner berkata:
     “Hampir semua orang primitif yang sezaman adalah bersatu di bawah satu keturunan atau kelompok kekeluargaan yaitu ada yang berupa (1) klan, yang bercirikan hubungan keturunan seseorang itu menurut pihak perempuan, ibu, atau (2) gens, yang bercirikan hubungan keturunan seseorang itu menurut pihak laki-laki, bapak. Oleh karena itu, anggota keturunan klan atau gens adalah dipercayai berketurunan dari nenek moyang yang sama dan selalu dihubungkan dengan binatang atau burung, yaitu totem, sebagai tanda adanya pertalian keturunan, tetapi pertalian keturunan yang lebih sesuai dengan itu lebih merupakan sebagai dongeng dari pada kedudukan yang sebenarnya.”[6]
            Sejarah permulaan peradaban adalah sejarah ribuan tahn sebelum Masehi. Para ahli sejarah menempatkan Mesir dan Mesopotamia (sekarang Irak) adalah pusat peradaban tertua dan kawasan itu mula-mula ditempati manusia karena letaknya di Lembah Sungai Nil, Efrat, dan Tigris yang subur. Disitulah manusia berhenti dan berpindah-pindah dan secara tidak sadar mendiaminya (menetap) dan meninggalkan kebiasaan hidup nonmadennya. Ini berarti bahwa tanahnya sangat menarik minat dan kelompok totemik sangat mudah menukar keadaannya menjadi teritorial jika mereka menduduki suatu kawasan. Kehidupan berkelompok hilang dalam arus gelombang organisasi teritorial. Summer Maine menjelaskan keadaan ini dalam history of Ancients Institutions, “dari kumpulan itu suatu bangsa menetap di kawasan dan wilayah yang ditempatinya, maka berawallah bumi dan tanah menggantikan kekeluargaan sebagai asas menjadi organisasi sosial.” Menurut Durkheim, “ kedua bentuk organisasi ini, totemik dan teritorial saling bertentangan, salah satunya akan mundur apabila yang satunya lagi mendapat tempat, tetapi semakin lama keduanya dapat dipadukan sebagai dua tingkat perkembangan kemajuan sosial.”[7]
            Mungkin karena perallihan yang cepat dari organisasi totemik kepada organisasi teritorial, sulit untuk mendapatkan perkembangan asuransi di antara mereka di sekitar awal peradaban, dan boleh jadi mereka tidak membentuknya sebab sewajarnyalah bagi masyarakat hidup berkelompk secara nomadik.[8]
            Menurut pengamatan Muslehuddin di dalam bukunya Menggugat Asuransi Modern mengatakan kelompok-kelompok nomadik dari sejarah awal, di mana asuransi seharusnya sudah mulai berakar, ia mendapati gurun pasir antara Mesir dan Mesopotamia sebagai tempat masyarakat pengembara tinggal terpencar-pencar dan hidup sezaman dengan orang-orang dari lembah-lembah yang subur. “ Sementara kelompok yang terakhir ini menetap di lembah-lembah subur, penduduk pengambara bangsa Arab berkembang di gurun-gurun pasir Arabia.” Berbeda dengan orang lembah yang lemah dan rapuh, orang Arab berwatak berani, kekar dan suka berperang serta gemar berpetualangan dan penjarahan dalam bentuk serangan-serangan yang bersama sebab-sebab lainnya, membantu membentuk mereka menjadi kelompok-kelompok.[9]
            Arabia, tempat mereka tinggal adalah sebuah wilayah gurun pasir luas yanng dikelilingi oleh laut di tiga sisinya. Ia merupakan sebuah celah luas yang berada di antara dua negeri tertua dalam peradaban manusia Mesopatamia dan Mesir. Karena secara geografis terisolasi, maka sedikit sekali terjadi penerobosan ke dalam wilayah tersebut, meskipun kerajaan-kerajaan besar berada di sekelilling perbatasannya. Wilayah cakupannya lebih dari sejuta mil persegi lebih dari delapan kali luas kepulauan Britania dan separuh luas Amerika Serikat, ditengah-tengahnya terdapat dataran tinggi yang dikelilingi oleh gurun pasir.[10]
            Orang arab adalah golongan bangsa semitik dan mereka menggap keturunan mereka berasal dari Sam, yaitu salah seorang anak Nabi Nuh as. Mereka itu adalah sezaman dengan orang-orang yang mulah-mulah mengalami peradaban di Lembah Sungai Nil, Efrat dan Tigris. Kawasan pedalaman Semenanjung Arab diduduki oleh suku Badui, yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari rumput dan air untuk ternak mereka. Kehidupan yang penuh tantangan dan kewajiban menyediakan kebutuhan mendorong orang Badui menjadi kuat dan cekatan. Mustahil orang dapat menetap di padang pasir yang tidak mempunyai kehidupan, lagi pula mereka di pimpin oleh ketua yang berani menghadapi bahaya hidup yang berpindah-pindah itu. Ini menyebabkan kaum Badui berpecah menjadi kelompok keluarga. Keluarga itu berkembang menjadi gabungan suku bangsa dengan dasar, “perpaduan keturunan dan berjamaah untuk kepentingan bersama”.[11]
            Saling menyerang seperti yang disinggung diatas merupakan ciri yang penting dalam kehidupan orang Badui. “ Merampas unta dan anak-istri suku kaum lain dianggap lebih baik dari pada melakukan permusuhan dan pertumpahan darah yang paling tidak dapat mereka hindari terjadinya permusuhan yang merupakan impian  hidup orang Badui. Wanita dan anak-anak dijadikan barang tebusan dan harta rampasan dibagi-bagikan menurut ketentuan yang telah ditetapkan. Syekh yang menjaga kehormatan suku yang mempunyai kedudukan yang penting dalam hal ini, menerima bagian yang banyak. Sebaliknya jika terjadi suatu kerugian, kerugian itu harus ditanggung oleh semua penghuni tenda yang dirampok itu, dan Syekh akan selalu memberi sumbangan yang banyak. Sebaliknya, apabila mereka tertawan mereka menghadapi malapetaka yang besar seandainya mereka tidak membayar uang tebusan darah atau terus menentang dengan pertumpahan darah. Jika hal ini tidak dapat dilakukan sampai berhasil, seluruh kaum itu akan mengalami kehancuran.[12]
            Gambaran di atas adalah gambaran cara hidup orang Arab yang sebenarnya. Kehidupan yang keras dipadang pasir bercampur dengan sikap suka berperang yang timbul dari merampas, dan pertumpahan darah membuka jalan untuk bersatu dikalangan anggota kelompok yang membentuk suatu cara pemikiran mereka dalam menghadapi gelombang hidup, yang meresap dalam setiap pemikiran individu. Ini merupakan suatu perpaduan yang utama yang menjadikan setiap kelompok bertindak sebagai suatu unik sosial. Unit sosial itu bukan saja memikirkan kerugian individu, malahan mencoba mengambil langkah-langkah untuk menampung kerugian itu yaitu melalui Asuransi.[13]
B.     Sifat Asuransi pada Kabilah Arab
            Asuransi adalah untuk memenuhi bayaran uang tebusan darah oleh kelompoknya supaya dapat meringankan beban yang ditanggung oleh anggota unit itu. Ini seakan-akan membentuk suatu adat.[14]
            Hal ini dapat dijelaskan yaitu dari kata Arab ma’aqil, jamak dari ma’qulah, berarti denda darah. Kata ini berasal dari kata ‘aql, yang digunakan dalam berbagai macam arti. Nampaknya, semula kata ini digunakan dalam arti mengikatkan kaki-kaki (seekor unta) yang terlibat paha-pahanya, kemudian dipergunakan dalam arti tebusan karena mempunyai kekuatan mengikat atas ‘aqilah (orang yang harus membayarnya).[15]
            Praktek doktrin dari al-Aqilah di antara suku-suku Arab kuno sebagai kebiasaan suku: Encyclopaedia of Islami yang membenarkan fakta bahwa sifat praktik asuransi telah berasal dari praktek Arab kuno, dimana itu menjadi kebiasaan di antara suku-suku Arab yang jika ada anggota suku yang dibunuh oleh anggota suku yang berbeda, ahli waris korban akan dibayar dengan sejumlah uang darah sebagai kompensasi dengan kerabat dekat si pembunuh. Mereka kerabat dekat si pembunuh itu ditujukan sebagai 'aqilah di Arab terminologi , yang seharusnya untuk membayar uang darah , atas nama pembunuh. Menurut Dr Muhammad Muhsin Khan, kata 'aqilah' berarti 'asaba' yang menunjukkan kerabat ayah si pembunuh, oleh karena itu, ide sentral dari doktrin 'aqila' dipraktekkan di antara Trines Arab kuno seperti semua orang di suku-suku yang digunakan untuk menjadi siap untuk membuat kontribusi moneter atas nama pembunuh untuk mengkompensasi pewaris korban. Kontribusi moneter tersebut dikenal sebagai uang darah. Kesiapan orang Arab kuno pada waktu itu untuk membayar kompensasi tampaknya menjadi semacam perlindungan finansial untuk pewaris almarhum melawan kematian tak terduga korban.[16]
            Kebiasaan lama yang dipraktekkan oleh orang Arab yakni membayar uang darah sudah berlangsung selama ribuan tahun. Kelompok yang disatukan berdasarkan ikatan darah harus menyelamatkan para anggotanya dalam bentuk kebersamaan (mutualitas) dan menanamkan kebiasaan saling berbagi beban kerugian bersama.[17]
            Hal ini berarti pembayaran dilakukan oleh seluruh anggota kelompok  itu untuk anggotanya atau anggota-anggotanya yang melakukan kejahatan. Bayaran diat (denda) adalah sebagai contoh asuransi bersama sebagai suatu usaha masyarakat yang bersifat sosial tetapi mempunyai implikasi ekonomi.[18]
           





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Kehidupan yang keras dipadang pasir bercampur dengan sikap suka berperang yang timbul dari merampas, dan pertumpahan darah membuka jalan untuk bersatu dikalangan anggota kelompok yang membentuk suatu cara pemikiran mereka dalam menghadapi gelombang hidup, yang meresap dalam setiap pemikiran individu. Ini merupakan suatu perpaduan yang utama yang menjadikan setiap kelompok bertindak sebagai suatu unik sosial. Unit sosial itu bukan saja memikirkan kerugian individu, malahan mencoba mengambil langkah-langkah untuk menampung kerugian itu yaitu melalui Asuransi.
            Asuransi adalah untuk memenuhi bayaran uang tebusan darah oleh kelompoknya supaya dapat meringankan beban yang ditanggung oleh anggota unit itu. Ini akan membentuk suatu adat.






DAFTAR PUSTAKA
Muslehuddin, Mohammad. 1997. Asuransi dalam Islam. Alih Bahasa: Wardana Jakarta: Bumi Aksara.
-------------------------------. 1999. Menggugat Asuransi Modern. Jakarta: PT Lentera Basritama.
Prakoso, Budi dan I Ketut Murtika. 2004. Hukum Asuransi Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sudarsono, Heri. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonesia.
Rahman, Afzalur. 2003. Doktrin Ekonomi Islam Jilid IV. Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf.
Turner. 1988. The Great Cultural Traditions. Alih Bahasa: Azlan Khalili Shamsuddin.  Kuala Lumpur: Dewan Pustaka Fajar.
Sumber:







[1] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid IV, Yogyakarta: PT  Dana Bhakti Wakaf, hlm. 29.
[2] Mohammad Muslehuddin, Asuransi dalam Islam, Alih Bahasa: Wardana,  Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 6.
[3] Ibid.
[4] Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, April 2004, hlm. 50.
[5] Ibid.
[6] Turner, The Great Cultural Traditions, Alih Bahasa: Azlan Khalili Shamsuddin, Kuala Lumpur: Dewan Pustaka Fajar, 1988, hlm. 79.
[7]  Mohammad Muslehuddin,  Asuransi..., hlm. 7-8.
[8] Ibid.
[9] Mohammad Muslehuddin, Menggugat Asuransi Modern, Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999, hlm. 11.
[10] Ibid.
[11]  Mohammad Muslehuddin,  Asuransi..., hlm. 9.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 10.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[18] Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum..., hlm. 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar