MAKALAH
HADITS MUTAWATIR
Dipresentasikan Pada Mata Kuliah
Hadits Ahkam
Dosen Pengampu : Drs. Bahrul Ma’ani, M. Ag.
Di susun oleh: Kelompok III (Tiga)
Indah Suhardini (SM 100095)
Aris Tribasuki (SM 100090)
Siti Solekha (SM 100103)
Masrivah (SM 100097)
Semester: V (Lima)
FAKULTAS
SYARIAH JURUSAN MUAMALAT
IAIN SULTHAN
THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2011/2012
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
Dengan segala
kerendahan hati, izinkan penulis memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada
Allah SWT yang senantiasa membukakan pikiran dan hati untuk terus berjuang
dalam menegakakan agama-Nya serta makalah yang membahas tentang “Hadits
Mutawatir” dapat penulis selesaikan. Shalawat serta salam tak pernah putus kita
sampaikan kepada pimpinan sekaligus guru peradaban dunia Nabi Muhammad SAW yang
banyak memberikan keteladanan dalam berfikir dan bertindak.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak dan rekan-rekan yang membantu
penulis dalam memberikan masukan dan pendapat terhadap makalah ini.Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,
kepada para pembaca dan para pakar di mohon saran dan kritikan yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah dan guna meningkatkan kualitas dari makalah
ini.
Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat dan bangsa.
Wasssalamu’alaikum Warohmatullah Wabarakatuh.
Jambi, 4 Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang........................................................................ 1
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadit Mutawatir.................................................. 3
B.
Syarat-Syarat
Hadit Mutawatir............................................. 4
C.
Hukum
Hadit Mutawatir...................................................... 6
D.
Pembagian
Hadits Mutawatir.............................................. 7
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan................................................................................. 13
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah
Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis
berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu
mengalami berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain
itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama setelah
Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad
kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan pada sekitar tahun 22
Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an
telah tersusun dengan bak. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami
hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses
dan perkembangan selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa
penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para perawi hadist dari berbagai
thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara
otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan
hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin
ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang
dialami ilmu hadist. Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan
Aristoteles dalam berbagai bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari
berbagai pendapat itu yang struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan
sehingga abash bahwa pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi
hadits. Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur
dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan
berbagai pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan
memaparkan tentang Hadist Mutawatir.
BAB I
PEMBAHASAN
HADITS MUTAWATIR
A.
Pengertian
Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur
artinya At-tatabu’ (berturut-turut).[1]
Adapun hadits mutawatir menurut istilah ulama hadits adalah:
حُوَ
خَبْرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جَمٌّ يُجِبُ فيِ العَادَةِ اِحَالَةُ
اِجْتِمَاعِهِمْ و تَوَاطُئِحِمْ عَلى الْكَذِبِ
Artinya: “Khabar yang di dasarkan
pada pancaindera yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat
mereka bersepekat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.”
Ada juga yang mengartikan hadits mutawatir sebagai berikut:
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur
yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah apa yang
diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar
dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad. Atau : hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut
akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan
hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat
diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya.[2]
B.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits
(khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu
benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-
peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil
tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya,
maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu
mencapai jumlah yang banyak.
2.
Bilangan para perawi mencapai suatu
jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan
bersepakat dusta.
a)
Abu Thayib menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang
diperlukan oleh hakim.
b)
Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5
orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar
Ulul Azmi.
c)
Sebagian ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah
difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat
mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat
65).
d)
Ulama yang lain menetapkan jumlah
tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman
Allah:“Wahai Nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi
penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang
jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat
seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan
bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada,
tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).[3]
4.
Sandaran
beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan
dalam meriwayatkan sebuah hadits, seperti kata: سمعنا (kami
telah mendengar), رأينا (kami telah melihat), لمسنا (kami
telah menyentuh) dan lain sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah
akal semata, seperti: pendapat tentang alam semesta yang bersifat huduuts
(baru), maka hadits tersebut tidak dinamakan mutawatir.
C.
Hukum
Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut yaitu
memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu
tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama
menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari
hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti
bersumber dari Rasulullah.[4]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist
mutawatir tidak membutuhkan proses. Cukup dengan bersandar pada jumlah,
yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran khabar yang dibawa.
Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa ada sahabat nabi yang bernama
Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah melihatnya namun kita
tetap yakin bahwa info tersebut benar.
D.
Pembagian
Hadits Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni
Mutawatir Lafzi dan Mutawatir Ma’nawi, namun sebagian yang lain membagi menjadi
tiga, yakni Hadits Mutawatir Lafzi, Ma’nawi, dan ‘Amali.
1.
Hadits
mutawatir lafzhi
Yang dimaksud hadits mutawatir lafzi adalah:
ما
تواترت روايته على لفظ واحد
Artinya: “Hadits yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafzhi.”[5]
Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang makna dan lafadznya
memang mutawatir. Contohnya :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa berdusta
atas namaku (Rasullah) secara sengaja, maka kehendaknya ia bersiap-siap
menempati tempatnya di neraka.”[6]
Keterangan :
Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh
tersebut tersebut, diantaranya ada yang berbunyi begini :
من
تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النار (ابن ماجه)
Artinya : “Barang siapa
mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka”. (Ibnu Majah)
Dan ada lagi begini :
ومن قال
علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم)
Artinya : ”Dan barang
siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka
hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka”. (Hakim)
Maknanya semua sama. Perbedaan lafadz itu timbulnya boleh jadi
karena Nabi mengucapkannya beberapa kali.
Dari ketiga contoh itu, maka yang dinamakan Mutawatir Lafdzi tidak
mesti lafadznya semua sama betul-betul.
Hadist tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist,
diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tarmidzi,
Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan Hakim.
Berikut ini disebutkan enam hadits mutawatir lainnya:
نضر الله امرء سمع مقالتي فوعاها وحفظها وبلغها (رواه الترميذي)
Artinya : “Mudah-mudahan
Allah akan berbuat baik kepada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia
peliharanya dan menjaganya serta menyampaikannya (kepada manusia).” (HR. Turmidzi)
إ ن القرﺁن انزل علي سبعة احرف (رواه النسائ)
Artinya : “Sesungguhnya
Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”. (HR. Nasai)
مَنْ بَنَى
لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ (رواه التبراني)
Artinya : ”Barang
siapa mendirikan sebuah mesjid karena Allah, maka Allah akan mendirikan baginya
sebuah rumah di surga.” (HR.
Thabarani)[7]
كل شراب اسكر فهو حرام (رواه البخاري)
Artinya : Tiap-tiap minuman yang memabukkan , maka dia itu haram
(HR. Bukhari)
إن الاٍسلام غريبا وسيعوده غريبا (رواه الدارمي)
Artinya : “Sesungguhnya
agama Islam itu timbul dengan keadaan asing dan akan kembali dengan asing
(juga)”. (HR. Darimi)
كل ميسر
لما خلق له (رواه البخاري)
Artinya : “Tiap-tiap
orang dimudahkan kepada apa yang sudah ditakdirkan baginya”. (HR. Bukhari)
Mutawatir Lafdzi ini sebenarnya tidak termasuk dalam pembelajaran
ilmu Hadist, karena rawi-rawi yang menceritakan Hadist itu tidak perlu
diperiksa dan dibahas lagi, sebab tida syarat Mutawatir 37 sudah memadai untuk
menetapkan keyakinan kita akan benarnya dari Nabi SAW
Menurut Abu
Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat,
kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits
itu diterima 200 sahabat.[8]
2.
Hadis
mutawatir ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi ialah:
ما
تواتر معناه دون لفظه
Artinya: “Hadits yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.”
hadis
mutawatir ma’nawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam
menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan
dalam maknanya.[9]
Contoh hadits ini adalah:
وقال ابو موسى الأشعرى دعا النبي صلى الله عله وسلم ثم رفع يديه ورأيت
بياض ابطيه
Artinya: “Abu Musa Al-‘Asyari
berkata: Nabi SAW berdoa kemudian mengangkat kedua tangannya dan aku melihat
putih-putih kedua ketiaknya.”[10]
Hadits-hadits yang menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini
ada sekitar 100 hadits. Masing-masing hadits menyebutkan Rasulullah SAW
mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, meskipun masing-masing (hadits)
terkait dengan berbagai perkara (kasus) yang berbeda-beda. Masing-masing
perkara tadi tidak bersifat mutawatir. Penetapan bahwa mengangkat kedua tangan
ketika berdoa itu termasuk mutawatir karena pertimbangan digabungkannya
berbagai jalur hadis tersebut.[11]
3.
Hadits
mutawatir ‘amali
Yang dimaksud dengan hadits ini
ialah:
ما علم من الدين باالضرورة وتواتر بين المسلمين ان النبي صلى الله
عليه وسلم فعله او امربه او غير ذلك وهو الذي ينطبق عليه تعريف الإجماع إنطباقا
صحيحا
Artinya: “Sesuatu yang diketahui
dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat
Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan
pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.”
Macam hadits mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits
yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata
cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.[12]
E.
Kehujjahan
Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (ufid ila ‘ilmi al’dhururi),
yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan
oleh hadis tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).[13]
Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawatir oleh sebagian
golongan lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan
tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah meyakini akan
kemutawatiran suatu hadits, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan
mengamalkan sesuai tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan
meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu
hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mereka
mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh imam.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur
yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah apa yang
diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar
dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad. Atau : hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut
akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan
hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat
diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya.
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.
Hadits (khabar) yang diberitakan
oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
2.
Bilangan para perawi mencapai suatu
jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta.
3.
Seimbang jumlah para perawi, sejak
dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya.
4.
Sandaran
beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan
dalam meriwayatkan sebuah hadits.
Hadits mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut yaitu
memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu
tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama
menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari
hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti
bersumber dari Rasulullah.
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni
Mutawatir Lafzi dan Mutawatir Ma’nawi, namun sebagian yang lain membagi menjadi
tiga, yakni Hadits Mutawatir Lafzi, Ma’nawi, dan ‘Amali.
DAFTAR PUSTAKA
Ath-Thahan,
Mahmud. Taisir Musthalah Al-Hadis.
-------------------,
Ilmu Hadits Praktis, Penerjemah;
Abu Fuad. Bogor: Pustaka Thanqul Izzah.
2006.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996.
-----------------------.
Ilmu Hadis. .Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2006.
Rahman, Fathur. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung.
1974.
Sumber lainnya:
http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-mutawatir/, Akses 3 Desember 2012, Pukul 16:02 WIB.
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2122366-pembagian-hadist-mutawatir/#ixzz2DzxcFWmL, Akses 3 Desember 2012, Pukul 17:49 WIB.
http://nabildaffa.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-mutawatir-dan-ahad.html, akses, 3 Desember 2012, pukul 16:45 WIB.
[2] http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-mutawatir/, Akses 3 Desember 2012, Pukul 16:02 WIB.
[3] http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2122366-pembagian-hadist-mutawatir/#ixzz2DzxcFWmL, Akses 3 Desember 2012, Pukul 17:49 WIB.
[5] Munzier Suparta, Ilmu
Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 87.
[8] Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, Penerjemah; Abu Fuad, (Bogor: Pustaka Thanqul Izzah, 2006), hlm. 21-22.
[9] http://nabildaffa.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-mutawatir-dan-ahad.html, akses, 3 Desember 2012, pukul 16:45 WIB.
[10]Munzier Supart, Ilmu...., hlm. 90.
[11] Mahmud Thahan,
Ilmu Hadits.., hlm. 22.
[12] Munzier Suparta, Ilmu....
hlm. 90-91.
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 106.
[14] Abdurrahman bin
Qasim ibn Muhammad Al-Asimi, Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyah,
(Riyad: Abd Aziz Al-Sa’ud, t.t), hlm. 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar